SYAHID SAMURAI

SYAHID SAMURAI


          Pesawat pengebom itu membubung, menembus langit Jepang yang kosong. Sebuah eksperimen maut!           
          Tentara AU Amerika itu tersenyum dingin.           
          Langit kota Hiroshima!           
          Sebuah bom dijatuhkan dari ketinggian, senjata pemusnah massal yang barusan diciptakan oleh Amerika.           
          Kengerian terbelalak dari jamur raksasa yang mengepulkan radiasi maut; ledakan bom atom di Hiroshima. Sebuah babak baru dalam catatan sejarah.

                                                 * * * * *

          Khadijah memandangi Hanifah yang tengah menyusui sang putri. Ia mendadak merindukan sang Umar. Putranya yang kini entah dimana.          
           “Engkau seorang mukminah sejati, Ukhti Hanifah . . . ,” desahnya.
           
          Lubang persembunyian pekat, sumpek oleh jajanan para pengungsi. Dentuman bom sesekali menggetarkan tanah, meruntuhkan partikelnya, menimbulkan kecemasan tersendiri jika tanah di atas mereka runtuh dan mereka terkubur hidup-hidup. Namun pancaran mata Hanifah begitu penuh ketenangan. Menimbulkan kekaguman tersendiri di dada Khadijah.          
          “Engkau pantas mendampingi Mahmud . . . .”

          Hanifah mengangkat wajah, tersenyum manis.          “Demi dakwah dan kebaikan Islam, maukah kau kembali kepada Kak Mahmud, Ukhti Khadijah?”          
           “Hanifah . . . ., aku tidak mau memisahkan cinta yang agung di antara kalian.”           
          “Kak Mahmud mencintai Ukhti.”

          “Cinta yang kotor. . . .”           
          “Karena itu, perlu dibersihkan. Saya bersedia menjadi istri kedua. Bukankah dalam Islam, itu tidak dilarang?”           
          Khadijah berkaca-kaca. Setelah Akiro masuk Islam, sementara dalam hati sang samurai tersimpan cinta yang dalam. Masihkah ia berniat untuk kembali pada ayah Umar?           
          “Perang masih berkecamuk, Ukhti . . . . Jangan berpikir tentang itu!” bisiknya, lirih. Hanifah mengangguk sepakat. Mereka pun tenggelam dalam munajatnya, bersama puluhan santri wanita yang juga tengah khusyuk berdoa.

 
                                                 * * * * *

          Pertempuran itu makin seru. Hakone menyerang kakak seperguruannya dengan segenap kekuatan yang dimiliki.           
          “Huuuup... heyaaahhh!!” Dalam sebuah kesempatan, Akiro berhasil menerjang pertahanan lawan. Sebuah tendangan kuat menghantam pergelangan tangan Hakone, lalu....           
          Traaanggg! Pedang Hakone terpental, melayang, dan menancap pada batang sebuah pohon. Lantas dengan gerakan kilat Akiro menempelkan pedangnya ke leher sang adik seperguruan seraya menelikung bahu lawan dengan kekuatan lengan kirinya. Hakone terjerembab, tak berdaya. Namun sepasang matanya tak juga menunjukkan penyerahan.           
          “Hakone, jika aku mau, kau akan mati!” desis Akiro.           
          “Aku tidak takut! Kematian bagi seorang samurah rebih muria dari pengkhianatan. Baik, aku akan ajari kau mati daram penghormatan... heyaaaahhh!!” Tiba-tiba Hakone berontak keras dan....           
          Craaattt!! Darah menyembur deras ketika ia menerjangkan lehernya ke pedang Akiro.          
          “Hakone!” Teriak Akiro, kaget. Ia tak menyangka Kiyosaki ber-harakiri dengan cara itu.

 
                                                 * * * * *

          Pasukan Jepang yang kalang kabut itu berlarian menuju lembah Sungai Klawing, masuk ke perangkap lawan. Pancingan Akiro sukses. Di lembah tersebut, ratusan sniper menghujani pasukan Jepang dengan peluru. Satu per satu dari mereka roboh, bersama pekik takbir yang membahana. Ketika Allah berkehendak, maka semua akan terasa mudah.           
          “Ingatlah ketika kamu memohon pertolongan pada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu, Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut. Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya....” Mahmud menghapus air mata yang membanjiri pipi dengan ujung surbannya. Keharuan itu terasa menyengat, menghantamsegala ujub. Di depan Allah, siapakah kita?           
          “Mahmud..., alhamdulillah, kemenangan telah datang...,” bisik Sayyid Mustapha, serak.           
          “Jepang mengibarkan bendera putih, mereka menyerah!” teriak yusuf.          Mahmud melihat seorang perwira berdiri di atas batu besar, melambai-lambaikan secarik kain putih.           
          “Hentikan menembak!” komando Sayyid Mustapha. “Mereka telah menjadi tawanan kita!”           
          “Allahu akbar!!” Ratusan santri tersuruk dalam sujud syukur, bersama peluh yang deras mengucur, peluh kemenangan. Namun mereka terbelalak ketika bangkit. Sebuah pemandangan mengerikan tengah berlangsung.           
          Puluhan pasukan Jepang yang tersisa mencabut bayonet masing-masing dan....           
          Darah mengucur deras ketika satu per satu bayonet itu menghujam ke dada-dada mereka. Bunuh diri! Harakiri. Sebuah nuansa kehormatan yang            
          “Mereka telah menjadi manusia-manusia picik,” desah Mahmud, terpana.           
          Harakiri! Kehormatan untuk seorang Nippon, terlebih lagi samurai. Dari balik bukit, Akiro Fujiwara menatap pemandangan itu dengan dada bergejolak. Semestinya ia melakukan hal yang sama.
                                                 * * * * *

          Bom atom yang kedua dijatuhkan di Nagasaki. Jepang lumpuh dan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Sebagai pemenang perang, Sekutu pun melucuti para pecundang dan mendarat ke tanah-tanah jajahan Jepang, termasuk Indonesia.           
          Di bumi pertiwi pun, pergolakan terjadi. Namun ada optimisme yang dipendarkan oleh para mujahid sejati.           
          “Percayalah, Indonesia akan menjadi sebuah daulah Islam yang tegak di atas hukum-hukum Allah!” Sayyid Mustapha menggandeng lengan Mahmud, memasuki puing-puing Pesantren Al-Ikhwah. “Dan Ikhwan, akan menjadi pelaksananya. Lewat tangan-tangan Agus Salim, Muhammad Natsir, Ahmad Dahlan, Cokroaminoto, dan lainnya. Mereka telah lama mempersiapkan Indonesia sebagai sebuah daulah Islam.”           
          “Semoga kami bisa istiqamah, Paman. Kami akan bekerja sama membangun negeri ini menjadi persemayaman para mukminin.”           
          “Sebuah kerja berat untuk mengembalikan khilafah yang tumbang ditelan kebatilan, Mahmud. Semoga Indonesia tidak akan jatuh ke tangan orang-orang seperti Mustapha Kemal Pasya.”            
          Mata mahmud menerawang, Ia memang bukan pribumi, tetapi ia merasakan bahwa getar nadinya telah lekat dengan aroma tropis negeri berseri ini. Dan bukankah bumi Islam tidak pernah mengenal sekat geografis? Di mana hukum Allah ditegakkan, di situlah umat Islam terbentang.           
          “Ustadz!!” Tiba-tiba Saif berlarian, mendekati Mahmud dan Sayyid Mustapha. “Indonesia telah merdeka! Bung Karno dan Bung Hatta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Di mana-mana orang-orang ramai memekikkan kata merdeka. Kamp-kamp Nippon diserbu, namun....”          
           “Tuan Akiro..., Tuan Akiro ditangkap oleh mereka. Ia dikeroyok dan tidak melawan. Ia dikira masih setia dengan Jepang...,” cerita Yusuf. “Sia-sia kami mencegah. Mereka sangat beringas....”
           
          Mahmud terpana, indonesia merdeka adalah sebuah kesyukuran. Namun tertangkapnya Akiro?          
          “Bergegaslah, Mahmud...! Kita harus selamatkan Akiro, saudara kita.”
           
          Langkah yang terlambat, karena pimpinan tentara rakyat telah menyerahkan Akiro Fujiwara kepada Sekutu yang mendarat di Jakarta.

                                                 * * * * *

Oktober, 1945
           
          Akiro menatap lembaran awan lembayung. Ada getir menyelinap di jiwa, membuncahkan nelangsa yang tak bertepi, Ia telah melihat kamp-kamp hunian Nippon yang lesu. Sebagian dari mereka telah mengamuk dan mengumpankan diri pada para pejuang Republik yang diproklamasikan Sukarno-Hatta, 17 Agustus silam. Jibaku, harakiri..., semestinya itu yang menjadi pendar-pendar hidupnya.           
          Ia bukan seorang pengecut! Ia seorang samurai sejati. Namun ia seorang muslim. Itulah yang membuat ia tidak berani mendahului kehendak Sang Pencipta.           
          Tentara rakyat telah menangkapnya. Dan kini, ia diserahkan kepada Sekutu sebagai tahanan perang, sebagai penjahat perang. Sungguh dengan ketinggian ilmu bertempurnya, semestinya ia mampu menghindar dari sergapan mereka. Namun ia merasa terlalu banyak menanggung dosa. Biarlah massa menghakiminya dan menjadikan dirinya sebagai tumbal kebengisan para pengikut Tenno Haika yang telah menanamkan kebencian di dada mereka. Atas kekayaan yang terkuras habis. Atas kehormatan para wanita yang terkoyak, atas ratusan ribu nyawa yang melayang. Sebuah dosa kaum yang tak akan mungkin terlupakan. Mencipta dendam berkepanjangan.
Hukuman untuknya telah ditentukan, gantung!

                                                 * * * * *

Hari eksekusi
           
          Pejabat militer sementara pasukan Sekutu berdiri dengan angkuh sebagai majikan para pecundang. Detak-detak sepatu militer yang menang perang memainkan bait-bait keganasan baru, yang entah mengapa terasa mengiris kalbu. Seorang Sersan Gurkha siap dengan tali yang akan mengerat leher tawanan, angkuh!           
          Dan itulah sang samurai yang barusan muncul dari penajara Sekutu. Ia tampak tegar, meski berselimut lunglai. Sepasang matanya berpijar, energi yang tidak tersirat pada para Nippon umumnya. Ia seorang Muslim!           
          Di luar pagar, Mahmud, Ali Syah, Sayyid Mustapha, dan Khadijah tampak panik. Mereka bernegosiasi dengan Letnan Kolonel Cristopher Lidle, komandan pasukan Sekutu di wilayah itu.           
          “Saya adalah putri William Rijkaard, seorang menteri Kolonial. Percayalah kepada saya. Akiro Fujiwara bukan seorang penjahat perang... Dia telah membelot dari pasukan Nippon dan bergabung dengan perlawanan para pejuang.”           
          “Sang penjagal maut!” Letkol Lidle tersenyum dingin, “Ia sangat terkenal di perang Pasifik. Dosa yang ia lakukan tidak terhitung. Tak ada yang bisa me nghindarkan ia dari hukuman, do you understand?”           
          Khadijah tampak pias. Perang telah membuat manusia kehilangan kemanusiaan, karena nurani sebagai pendeteksi kemanusiaan sendiri telah tercabik-cabik.           
          “Tetapi kalian saya persilakan untuk melihat proses penjatuhan hukuman untuk sang penjahat perang, Kolonel Akiro Fujiwara...!”
Seorang tentara Inggris mendorong tubuh Akiro kasar. Sang samurai kini naik ke sebuah bangku kayu. Tentara yang lain mengalungkan tali ke lehernya.
           
          Kematian, terasa begitu dekat. Namun ia pantas memuja Rabb-nya, karena telah memberikan hidayah sebelum ia datang menjemputnya. Ia semakin merasa menjadi samurai sejati dengan cara kematian yang ia pilih.           
          “Aku tidak tahu harus mengucapkan apa, kita gagal membebaskannya,” kata Khadijah dengan berkaca-kaca. Mahmud yang kini telah menjadi suaminya kembali menggenggam tangannya, erat.           
          “Kita telah berusaha....”           
          Sersan Gurkha itu menarik tali ditangannya. Pada saat itu tentara Inggris yang mengawal Akiro menendang bangku Kayu tempat berpijak Akiro.           
          Sreeeett!! Tali itu menjerat leher sang samurai yang kini berayun-ayun di angkasa. Khadijah menyembunyikan wajahnya di dada bidang sang suami, terisak.
 
Aku sadar darahku telah tergadai
 
Karenanya aku takkan berpaling dari jalan keridhaan
 
Sesungguhnya darah yang tertumpah
 
Akan menyiram bumi yang gersang
 
Sehingga pohon keimanan merindang
 
Dan kejayaan itu teragungkan
 
Isy kariiman au mut syahidaan                                                           

                                                                      Solo, 1 April 2002

•    Pengarang :
      Afifah Afra Amatullah
•    Penerbit :
      PT ERA ADICITRA INTERMUDA
•    Tempat terbit :
      Solo
•    Tahun Terbit :
      2004

Komentar